07-02-2009
Disudut
kamar ini aku duduk seorang diri. Lampu yang biasanya terang menyala, sengaja
tidak aku nyalakan. Tapi aku tahu apa yang ada disekelilingku; sebuah meja yang
terdapat bingkai fotoku bersama Dion, beberapa boneka pemberian Dion dan jaket
hijau milik Dion yang kugantung dibelakang pintu kamarku. Malam ini adalah
malam yang sangat menyakitkan untukku. Aku merasa bayangan Dion datang untuk
menemaniku. Namun saat aku ingin memeluknya, bayangan itu hilang.
Tiba-tiba Dina membuka
pintu kamarku dan menyalakan lampu yang masih dingin menemaniku, “Ayo makan
dulu Priska, kamu nanti sakit lho!”. “Aku nggak lapar!”, jawabku singkat. Dina
duduk disampingku dan memegang bahuku, “Sudahlah Priska, relakan Dion”. Dina
menghapus airmataku, mencoba untuk membuatku tegar.
Aku
kembali mencari sesosok bayangan Dion, tapi lagi-lagi bayangan itu
menghilang. Kenapa Dion pergi begitu
saja, padahal dia janji padaku tidak akan meninggalkan aku. Sepulang dari rumah
Dion tadi sore, aku merasa tidak mampu lagi untuk hidup. Apalagi saat melihat Dion
dimasukan kedalam peti mati berwarna cokelat yang dipenuhi dengan taburan
bunga. Tangisku tidak bisa lagi aku kontrol, rasanya aku ingin menemani Dion
didalam peti. Ternyata kemarin malam adalah malam terakhirku bersama Dion.
“Priska,
I love you!”, Dion memandangku dengan penuh arti. Aku yakin kalau cinta Dion
hanya untukku. “I love you too!”, jawabku dengan manis. Malam itu seperti
malam-malam biasanya, kami keluar rumah untuk makan malam disebuah tempat makan
favorit kami. Tempat dimana seseorang bisa merasakan kedamaian dan melihat isi
kota dengan jelas. “Warung Puncak”, sebuah tempat makan yang terletak dipuncak
±5KM dari rumahku.
“Sayang,
aku pengen banget selalu ada disisi kamu”, Dion memegang tanganku dan akupun
memegangnya dengan erat. “Aku juga, aku pengan kamu janji kalau kamu akan tetep
nemenin aku”. Dion memelukku erat. “Coba
deh lihat pohon itu. Aku pengen jadi pohon yang rindang, hijau, kokoh, dan
indah!”, Dion mengacungkan tangannya kearah sebuah pohon besar disamping tempat
makan. “Kenapa?”, aku memandangnya untuk memastikan kalau dia baik-baik saja.
“Karena aku pengen saat panas kamu berteduh dibawahku, dan saat hujan kamu juga
berteduh dibawahku”. #gombal
Aku
semakin yakin bahwa Dion benar-benar cinta padaku. Aku juga yakin kalau hatiku
memang untuk Dion seorang. Malam itu aku hanya merasakan kasih sayang Dion yang
tulus untukku. Tiga tahun bersama Dion, tidak merubah rasa sayangku kepadanya
seperti pertama kali jadian. Dion
yang membuatku tahu arti cinta, membuatku tertawa saat aku sedih, membuatku
tenang saat aku bingung dan membuatku yakin saat aku ragu. Dia sangat berarti
untukku, Dion menjadi inspirasi dalam hidupku.
“Sayang,
kamu pasti dingin. Pakai jaketku ya!”, Dion melepaskan jaket hijaunya untukku.
“Thanks ya sayang!”. Aku tidak menolaknya, aku tahu kalau aku menolaknya dion
akan marah karena selama ini Dion selalu mengajarkan aku untuk berkata “iya”
jika benar dan “tidak” jika salah. Tidak hanya tubuhku yang hangat karena jaket
Dion, tapi hatiku juga hangat karena Dion selalu membuatku tersenyum.
Dion
tidak berkata banyak malam itu, tapi dia lebih banyak memandangku dan memegang
tanganku. Semilirnya angin semakin kencang.
Suara dedaunan kering yang terseret angin menambah keharmonisan suasana
ditempat makan. Kunang-kunangpun berterbangan
mengelilingi kegelapan malam yang indah. Kelap-kelip lampu kota menambah
keindahan pemandangan, namun diantara semua itu hanya Dion yang terindah.
“I love
you!”, aku membisikkan kata itu ditelinga Dion. “I love you too!”, Dion
membalasnya dengan cara yang sama denganku. Kita tersenyum karena kita tidak
pernah bosan mengucapkan kata itu. Kata “I love you” buat kita adalah seperti halnya oksigen untuk bernafas.
Aku dan
Dion meninggalkan tempat yang indah itu dengan motor hitam polos milik Dion.
Aku masih mengenakan jaket milik Dion. Diperjalanan pulang, Dion juga tidak
berkata sepatah katapun untukku. Tapi aku tetap senang karena malam itu adalah
malam yang istimewa buatku. Entah kenapa
aku ingin sekali memeluk Dion dengan erat dan enggan untuk melepaskannya. Aku
ingin perjalanan pulang saat itu menjadi lama agar aku semakin lama memeluk Dion.
Aku
mencium tangan Dion yang dingin dengan lembut dan penuh kasih sayang saat tiba
dirumah. “I love you!”. “I love you too!”. Berat rasanya saat aku melepaskan
tangan Dion dari genggamanku. Tidak seperti biasanya, tanganku ringan
melambaikan sampai jumpa untuk Dion.
Dion
tersenyum manis dan mengucapkan “selamat malam”
untukku. Aku mencium aroma wangi tubuh Dion lewat jaketnya. Mimpiku
malam itu tidak seindah seperti waktu kebersamaanku dengan Dion. Aku memimpikan
Dion duduk dibawah pohon rindang dan tersenyum padaku sambil melambaikan
tangannya. Saat aku terbangun dari mimpi itu, Dina berada disampingku. Dina
mengatakan kalau Dion kecelakaan dan meninggal dunia.
Tubuhku
terasa lapuk dan ringan terbawa angin. Perasaanku tergores oleh kaca-kaca yang
retak dari dalam diriku. Ternyata, tadi malam adalah malam terakhirku memeluk Dion,
memegang tangannya dan berkata “I love you” padanya. Untuk merasakan kasih
sayang Dion, aku hanya dengan berada dibawah pohon yang kokoh, hijau dan rindang. Dion, terima kasih atas
cinta yang selama ini kamu berikan buat aku. Bukan hanya malam itu kenangan indah yang dapat kuingat. tapi kenangan selama 2tahun kita bersama akan menjadi kenangan indah dalam hidupku.
icik2.. lha kok dion..
BalasHapusLha gelo ndi??
kyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa..
gelo ya???bentar deh
BalasHapus