Jumat, 14 Juni 2013

Malam Terakhir

07-02-2009
Disudut kamar ini aku duduk seorang diri. Lampu yang biasanya terang menyala, sengaja tidak aku nyalakan. Tapi aku tahu apa yang ada disekelilingku; sebuah meja yang terdapat bingkai fotoku bersama Dion, beberapa boneka pemberian Dion dan jaket hijau milik Dion yang kugantung dibelakang pintu kamarku. Malam ini adalah malam yang sangat menyakitkan untukku. Aku merasa bayangan Dion datang untuk menemaniku. Namun saat aku ingin memeluknya, bayangan itu hilang.
Tiba-tiba Dina membuka pintu kamarku dan menyalakan lampu yang masih dingin menemaniku, “Ayo makan dulu Priska, kamu nanti sakit lho!”. “Aku nggak lapar!”, jawabku singkat. Dina duduk disampingku dan memegang bahuku, “Sudahlah Priska, relakan Dion”. Dina menghapus airmataku, mencoba untuk membuatku tegar.

Aku kembali mencari sesosok bayangan Dion, tapi lagi-lagi bayangan itu menghilang.  Kenapa Dion pergi begitu saja, padahal dia janji padaku tidak akan meninggalkan aku. Sepulang dari rumah Dion tadi sore, aku merasa tidak mampu lagi untuk hidup. Apalagi saat melihat Dion dimasukan kedalam peti mati berwarna cokelat yang dipenuhi dengan taburan bunga. Tangisku tidak bisa lagi aku kontrol, rasanya aku ingin menemani Dion didalam peti. Ternyata kemarin malam adalah malam terakhirku bersama Dion.
“Priska, I love you!”, Dion memandangku dengan penuh arti. Aku yakin kalau cinta Dion hanya untukku. “I love you too!”, jawabku dengan manis. Malam itu seperti malam-malam biasanya, kami keluar rumah untuk makan malam disebuah tempat makan favorit kami. Tempat dimana seseorang bisa merasakan kedamaian dan melihat isi kota dengan jelas. “Warung Puncak”, sebuah tempat makan yang terletak dipuncak ±5KM dari rumahku.
“Sayang, aku pengen banget selalu ada disisi kamu”, Dion memegang tanganku dan akupun memegangnya dengan erat. “Aku juga, aku pengan kamu janji kalau kamu akan tetep nemenin  aku”. Dion memelukku erat. “Coba deh lihat pohon itu. Aku pengen jadi pohon yang rindang, hijau, kokoh, dan indah!”, Dion mengacungkan tangannya kearah sebuah pohon besar disamping tempat makan. “Kenapa?”, aku memandangnya untuk memastikan kalau dia baik-baik saja. “Karena aku pengen saat panas kamu berteduh dibawahku, dan saat hujan kamu juga berteduh dibawahku”. #gombal
Aku semakin yakin bahwa Dion benar-benar  cinta padaku. Aku juga yakin kalau hatiku memang untuk Dion seorang. Malam itu aku hanya merasakan kasih sayang Dion yang tulus untukku. Tiga tahun bersama Dion, tidak merubah rasa sayangku kepadanya seperti pertama kali jadian. Dion yang membuatku tahu arti cinta, membuatku tertawa saat aku sedih, membuatku tenang saat aku bingung dan membuatku yakin saat aku ragu. Dia sangat berarti untukku, Dion menjadi inspirasi dalam hidupku.
“Sayang, kamu pasti dingin. Pakai jaketku ya!”, Dion melepaskan jaket hijaunya untukku. “Thanks ya sayang!”. Aku tidak menolaknya, aku tahu kalau aku menolaknya dion akan marah karena selama ini Dion selalu mengajarkan aku untuk berkata “iya” jika benar dan “tidak” jika salah. Tidak hanya tubuhku yang hangat karena jaket Dion, tapi hatiku juga hangat karena Dion selalu membuatku tersenyum.
Dion tidak berkata banyak malam itu, tapi dia lebih banyak memandangku dan memegang tanganku. Semilirnya angin semakin kencang.  Suara dedaunan kering yang terseret angin menambah keharmonisan suasana ditempat makan. Kunang-kunangpun berterbangan  mengelilingi kegelapan malam yang indah. Kelap-kelip lampu kota menambah keindahan pemandangan, namun diantara semua itu hanya Dion yang terindah.
“I love you!”, aku membisikkan kata itu ditelinga Dion. “I love you too!”, Dion membalasnya dengan cara yang sama denganku. Kita tersenyum karena kita tidak pernah bosan mengucapkan kata itu. Kata “I love you” buat kita adalah seperti  halnya oksigen untuk bernafas.
Aku dan Dion meninggalkan tempat yang indah itu dengan motor hitam polos milik Dion. Aku masih mengenakan jaket milik Dion. Diperjalanan pulang, Dion juga tidak berkata sepatah katapun untukku. Tapi aku tetap senang karena malam itu adalah malam yang istimewa  buatku. Entah kenapa aku ingin sekali memeluk Dion dengan erat dan enggan untuk melepaskannya. Aku ingin perjalanan pulang saat itu menjadi lama agar aku semakin lama memeluk Dion.
Aku mencium tangan Dion yang dingin dengan lembut dan penuh kasih sayang saat tiba dirumah. “I love you!”. “I love you too!”. Berat rasanya saat aku melepaskan tangan Dion dari genggamanku. Tidak seperti biasanya, tanganku ringan melambaikan sampai jumpa untuk Dion.
Dion tersenyum manis dan mengucapkan “selamat malam”  untukku. Aku mencium aroma wangi tubuh Dion lewat jaketnya. Mimpiku malam itu tidak seindah seperti waktu kebersamaanku dengan Dion. Aku memimpikan Dion duduk dibawah pohon rindang dan tersenyum padaku sambil melambaikan tangannya. Saat aku terbangun dari mimpi itu, Dina berada disampingku. Dina mengatakan kalau Dion kecelakaan dan meninggal dunia.
Tubuhku terasa lapuk dan ringan terbawa angin. Perasaanku tergores oleh kaca-kaca yang retak dari dalam diriku. Ternyata, tadi malam adalah malam terakhirku memeluk Dion, memegang tangannya dan berkata “I love you” padanya. Untuk merasakan kasih sayang Dion, aku hanya dengan berada dibawah pohon yang kokoh,  hijau dan rindang. Dion, terima kasih atas cinta yang selama ini kamu berikan buat aku. Bukan hanya malam itu kenangan indah yang dapat kuingat. tapi kenangan selama 2tahun kita bersama akan menjadi kenangan indah dalam hidupku.

2 komentar:

Labels